Jumat, 07 Desember 2007

Acta Civicus Volume 1, Nomor 1, 2007

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI JEPANG

Dikdik Baehaqi Arif

Abstract

Tulisan ini mengkaji konteks kelahiran, landasan pengembangan, kerangka sistemik, dan kurikulum dan bahan ajar pendidikan kewarganegaraan di Jepang yang lebih dikenal dalam terminologi social studies, living experiences and moral education. Pendidikan kewarganegaraan di jepang semakin mendapatkan perhatian penting terutama sejak berakhirnya perang dunia kedua. Perkembangan mata pelajaran ini dapat digambarkan dalam tiga periode yang masing-masing memiliki orientasi yang berbeda, yaitu berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan.

Keywords: social studies, living experience and moral education

Pendahuluan

Berakhirnya Perang Dunia Kedua berpengaruh besar terhadap perjalanan bangsa dan negara Jepang, terlebih pada aspek pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas yang diperlukan bagi pembangunan kembali Jepang yang porak poranda akibat perang. Perhatian besar Jepang terutama difokuskan pada aspek pendidikan. Periode setelah kekalahan jepang dalam perang, menjadi titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang.

Pendidikan kewarganegaraan di Jepang yang dikenal dalam terminologi social studies, living experience and moral education (Kerr, 1999), berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan warga negara berkaitan dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang. Dalam tulisan ini, kajian pendidikan kewarganegaraan di Jepang akan memfokuskan diri kepada kajian tentang konteks kelahiran, landasan pengembangan, kerangka sistemik, dan kurikulum dan bahan ajar pendidikan kewarganegaraan di Jepang.

Konteks Kelahiran

Konteks kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang dapat ditelusuri, terutama setelah Perang Dunia kedua (1945). Pada masa itu, perhatian pemerintah Jepang terhadap pendidikan mulai menunjukkan peningkatan. Pendidikan menjadi pusat perhatian pemerintah sebagaimana direncanakan sejak periode Meiji (abad ke-19) (Otsu, 1998:51; Ikeno, 2005:93). Periode setelah kekalahan Jepang ini, merupakan titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang. Pendidikan Jepang mengubah orientasinya dari yang bersifat militer ke arah pendekatan yang lebih demokratis. Demikian pula perubahan dirasakan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, mata pelajaran ini telah bergeser penekanannya dari pendidikan untuk para warganegara dan pengajaran disiplin ilmu-ilmu sosial yang terkait dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang, ke arah Pendidikan Kewarganegaraan untuk semua warganegara (Ikeno, 2005:93).

Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia II dapat digambarkan dalam tiga periode (Ikeno, 2005:93) sebagai berikut: “Pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada pengalaman. Kedua, periode tahun 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan, dan ketiga, periode tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan”.

Periode pertama, Pendidikan Kewarganegaraan sebagian besar diterapkan secara integratif ke dalam studi sosial. Studi sosial mengadopsi metoda-metoda pemecahan masalah, seperti penelitian dan diskusi, dan mengajarkan kehidupan sosial dan masyarakat secara umum. Di dalam kelas, para guru dan anak-anak mempertimbangkan permasalahan kehidupan sosial dan masyarakat melalui pengalaman sosial yang diperoleh dengan pemecahan masalah. Mereka belajar tentang “masyarakat mereka sendiri” dan mengembangkan “sikap dan keterampilan-keterampilan untuk berpartisipasi secara positif untuk membangun masyarakat yang demokratis”.

Pelaksanaan pembelajaran studi sosial pada periode ini adalah melalui “yubin-gokko (playing the post)” dan “yamabiko-gakko (echo school)”. Dalam praktek ini, guru mengorganisir suatu struktur yang berhubungan dengan kegiatan pos sebagai satu aktivitas untuk anak-anak. Di yamabiko-gakko, guru mengorganisir aktivitas penyelidikan sehingga anak-anak bisa membuat pertanyaan-pertanyaan melalui komposisi dan jawaban bebas mereka.

Dalam situasi demikian, anak-anak itu melaksanakan aktivitas, sementara para guru tidak mengambil peran yang besar untuk memimpin dalam proses pembelajaran tersebut. Banyak orang mengkritik praktek pembelajaran ini, mereka berpendapat bahwa dalam praktek pembelajaran tersebut, anak-anak hanya memperoleh pengetahuan biasa yang dipelajari tanpa sengaja, dan mereka menuntut para guru studi sosial untuk mengajar ilmu sosial secara sistematis.

Pada periode yang kedua, Pendidikan Kewarganegaraan didasarkan atas prinsip intelektualisme yang berkembang dalam disiplin akademis. Kementerian Pendidikan Jepang memisahkan Pendidikan Moral (dotoku) dari studi sosial. Studi sosial dipecah menjadi Geografi, Sejarah, dan politik/ekonomy/kemasyarakatan.

Masing-masing disipilin di atas terdiri atas seperangkat pengetahuan dan keterampilan. Hal tersebut dipersiapkan agar para siswa memiliki pengetahuan inti tentang budaya Jepang secara umum. Pendidikan Kewarganegaraan periode kedua ini diarahkan agar para siswa memperoleh pengetahuan yang dianggap penting bagi bangsa Jepang.

Sasaran pengajaran Pendidikan Kewarganegara pada periode kedua ini terdiri atas empat unsur (Ikeno, 2005:94), yaitu untuk mengembangkan: 1) pengetahuan dan pemahaman, 2) keterampilan berpikir dan ketetapan, 3) keterampilan dan kemampuan, dan 4) kemauan, minat, dan sikap warganegara.

Pada periode ketiga, Pendidikan Jepang ditekankan pada pengembangan prinsip hubungan timbal balik. Dalam hal ini, pendidikan sekolah difokuskan untuk mengembangkan “kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan siswa”, dalam arti siswa mampu menemukan suatu masalah sendiri, belajar tentang permasalahan itu, memikirkannya, menilai dengan bebas, menggunakan metode yang tepat, memecahkan masalah secara tepat, kreatif, dan memperdalam pemahamannya tentang hidup. Sasaran ini dicapai melalui integrasi dari setiap disiplin ilmu. Karena itu, periode ini disebut sebagai “periode studi yang terintegrasi”.

Pendidikan Kewarganegaraan dalam periode ketiga bertujuan mempersiapkan setiap individu untuk dapat terlibat dalam secara aktif dalam masyarakat, dan menggunakan budaya umum dalam setiap hal. Penekanan Pendidikan Kewarganegaraan telah diubah dari mengutamakan pengetahuan umum tentang bangsa Jepang kepada kemampuan itu untuk membangun masyarakat. Pada periode ketiga ini, pendidikan Kewarganegaraan Jepang sebagian besar diterapkan sebagai “kewarganegaraan (civics)” dalam sekolah tingkat atas, dan sebagai “studi sosial” dalam sekolah tingkat menengah (Otsu, 1998:51).

Landasan Pengembangan

Landasan Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang tidak dapat dilepaskan dari konsep warganegara (komin, citizen) dan kewarganegaraan (citizenship). Oleh karena itu, penting diketahui bagaimana konsep-konsep tersebut dikonstruksi. Untuk menjelaskan hubungan antara citizen dan citizenship di Jepang, Otsu (1998:53) mengemukakan sebagai berikut: “Related to the definition of ‘citizen’, ‘citizenship’ has a much wider meaning and can be used differently in different contexts”. Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa definisi antara citizen dan citizenship dapat memiliki arti yang luas dan dapat digunakan dalam cara dan dalam konteks yang berbeda.

Lebih lanjut Otsu (1998:53) mengemukakan bahwa pada saat “studi sosial (social studies)” dimulai sebagai mata pelajaran inti pada tahun 1948, Kementerian Pendididikan menjelaskan bahwa ‘studi sosial tidak hanya membantu penduduk mengikuti kebijakan pemerintah, tetapi setiap penduduk secara intens belajar tentang masyarakat mereka dan untuk mengembangkan sikap dan keterampilan mereka untuk berpartisipasi secara positif dalam masyarakat mereka untuk membangun masyarakat yang demokratis.

Pada saat “kewarganegaraan (civics)” disiapkan sebagai suatu mata pelajaran pada sekolah menengah pada tahun 1970, Kementerian Pendidikan menggambarkan tujuan inti Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:

1. to develop an awareness and understanding of Japan as a nation and the principle of sovereignty (Untuk mengembangkan kesadaran dan pemahaman tentang Jepang sebagai sebuah negara dan prinsip kedaulatan)

2. to develop a concept of local community and the state and ways in which the individual can contribute to the work of the community and the state (Untuk mengembangkan suatu konsep tentang masyarakat lokal dan negara serta cara bagaimana setiap individu dapat berkontribusi dalam satu pekerjaan di masyarakat dan negara)

3. to appreciate rights and responsibilities and duties of the individual in the community and wider society (Untuk menghargai hak dan tanggungjawab serta tugas dari individu dalam suatu komunitas dan masyarakat yang lebih luas)

4. to develop an ability to act positively in relation to rights and duties (untuk mengembangkan kemampuan untuk bertindak secara positif dalam hubungan antara hak dan kewajiban)

Kerangka Sistemik

Kerangka sistemik yang dimaksud adalah “istilah teknis yang digunakan, pendekatan yang dikembangkan, dan jumlah jam perminggu, baik untuk pendidikan dasar maupun pendidikan menengah” (Kerr, 1999; Winataputra, 2007). Pada tabel berikut ini disajikan pengorganisasian Civic Education di Jepang pada pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan pertama dan tingkat atas.

Tabel 1. Organisation of Citizenship Education in Primary Phase

Country

Terminology

Approach

Hours per week

Japan

Social studies, living experiences and moral education

Statutory core separate and integrated

175 x 45 minutes per year

Kerr, (1999:18)

Tabel di atas dapat menggambarkan kerangka sistemik pendidikan kewarganegaraan pada tingkat pendidikan dasar. Terminologi yang digunakan untuk mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah “Social studies, living experiences and moral education”. Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegrasi atau secara berdiri sendiri. Beban belajar perminggu adalah 175 x 45 menit per tahun.

Sementara itu, Pendidikan Kewarganegaraan untuk tingkat pendidikan lanjutan pertama dan tingkat atas dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 2. Organisation of Citizenship Education in the Lower and Upper Secondary Phase

Country

Terminology

Approach

Hours per week

Japan

Social studies, living experiences and moral education

Statutory core

Integrated and specific

175 x 45 minutes per year (grade 7 & 8)

140 x 50 minutes per year (grade 9)

140 x 50 minutes per year (upper secondary)

Kerr, (1999:19)

Untuk sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, bahan kajian atau mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan digunakan istilah “Social studies, living experiences and moral education”. Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegrasi atau secara berdiri sendiri. Beban belajar perminggu adalah: tingkat lanjutan pertama: 175 x 45 menit per tahun untuk tingkat 7 dan 8, dan 140 x 50 menit per tahun untuk tingkat 9. Sedangkan untuk tingkat atas adalah 140 x 50 menit per tahun.

Kurikulum dan Bahan Belajar

Dalam uraian Otsu (1998:) Pendidikan Kewarganegaraan dalam sekolah dasar diimplementasikan sebagai “life and environmental studies” pada tingkat 1-2, dan “social studies” pada tingkat 3-6 untuk tiga jam pelajaran (1 jam pelajaran = 45 menit) per minggu. Di sekolah menengah, studi sosial terdiri atas tiga mata pelajaran, Geografi (4 jam per minggu pada tingkat 1 dan 2, 1 jam = 50 menit), Sejarah (dengan proporsi yang sama dengan geografi), dan Kewarganegaraan (2-3 jam per minggu pada tingkat 3).

Isi (kurikulum) Kewarganegaraan pada sekolah menengah terdiri atas:

1. contemporary social life (Kehidupan sosial kontemporer)

2. Improvement of national life and economy (Perbaikan kehidupan nasional dan ekonomi)

3. democratic government and international community (Pemerintahan demokratis dan masyarakat internasional)

(Otsu, 1998:54)

Pada sekolah menengah, para siswa belajar Kewarganegaraan pada tahun terakhir, pelajaran Kewarganegaraan tingkat tiga cenderung diarahkan sebagai pusat pengetahuan dan ditekankan terhadap hapalan (memorization), karena banyak siswa dan guru berkonsentrasi untuk ujian masuk ke tingkat sekolah menengah atas.

Kurikulum sekolah menengah atas terdiri atas bidang mata pelajaran dan sub mata pelajaran yang spesifik. Para siswa diharuskan mengambil empat kredit dari mata pelajaran Kewarganegaraan yang terdiri atas: masyarakat kontemporer (4 jam, 1 jam = 50 menit), etika (2 jam), dan politik/ekonomi (2 jam).

Isi dari kajian tentang masyarakat kontemporer adalah sebagai berikut:

1. the individual and culture in contemporary society (individu dan budaya dalam masyarakat kontemporer)

2. environment and human life (lingkungan dan kehidupan manusia)

3. contemporary politics and economy and the individual (politik dan ekonomi kontemporer dan individual)

4. international community and global issues (organisasi internasional dan isu-isu global)

(Otsu, 1998:54)

Dalam kajian tentang masyarakat kontemporer, berbagai inovasi pembelajaran telah dihasilkan. Untuk mengembangkan keterampilan dan sikap pembelajar seperti pengetahuan, beberapa guru menciptakan inovasi pembelajaran dengan mengambil isu-isu kontemporer dengan menggunakan pendekatan yang komprehensif dan aktifitas yang bervariasi, seperti diskusi, games dan simulasi. Meskipun studi sosial dalam sekolah menengah atas dicitrakan sebagai pelajaran hapalan dalam waktu yang lama, namun studi tentang masyarakat kontemporer telah mengubah citra (image) studi sosial sampai taraf tertentu. Pembelajaran kreatif pada masyarakat kontemporer dipublikasikan dan memiliki pengaruh yang mendukung guru-guru lintas bangsa.

Kajian tentang etika dan politik/ekonomi merupakan kajian penting untuk Pendidikan Kewarganegaraan. Tetapi mata pelajaran ini cenderung berfokus pada pengajaran tentang struktur dan metode setiap disiplin ilmu-ilmu sosial.

Sejak kajian masyarakat kontemporer diubah dari pelajaran wajib menjadi satu pilihan, Pendidikan Kewarganegaraan secara umum telah mengakhiri kehilangan statusnya. Hal ini berarti, pada saat yang sama Pendidikan Kewaranegaraan di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas menjadi hal penting bagi setiap siswa yang akan menjadi pemilih dan bekerja dalam masyarakat segera setelah kelulusan mereka.

--------------------

* Dikdik Baehaqi Arif, S.Pd. adalah mahasiswa program magister pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana UPI

Daftar Pustaka

Ikeno, N. (2005). “Citizenship Education in Japan After World War II”. In Citized. International Journal of Citizenship and Teacher Education. Vol 1, No. 2 December 2005.

Cogan, J.J. and Ray Derricott (ed). (1998). Citizenship Education for the 21st Century: An International Perspective on Education. London: Kogan Page.

Otsu, K. (1998). “Japan”. In Cogan J.J. and Ray Derricott (ed). Citizenship Education for the 21st Century: An International Perspective on Education. London: Kogan Page.

Kerr, D. (1999). Citizenship Education: An International Comparrison. England: nfer, QCA.

-----------. (1999). Citizenship Education in The Curriculum: An International Review. England: nfer, QCA.